
Bukan sebuah berita baik yang datang, ketika "Pangeran Biru" gagal memetik poin pada Tur Papua setelah kalah 0-3 dari Persiwa dan Persipura 1-5. Apa masalah PERSIB sekarang ini? Semua bobotoh mempertanyakan ini. Mengapa prestasi membanggakan begitu jauh dari jangkauan? Bahkan harum nama dan menggetarkan sang Maung seperti hanya jadi gema masa lalu. Dulur sabobotoh, kegelisahan ini pun dirasakan oleh banyak penggemar sepakbola di Indonesia. Saya dalam beberapa kesempatan berkeliling nusantara beberapa waktu terakhir ini, banyak bertemu dengan komunitas penggemar sepakbola di nusantara, yang mempertanyakan permainan PERSIB.
Mereka semua merindukan permainan indah kaki ke kaki yang biasa dipraktikkan oleh tim "Pangeran Biru". Bola yang mengalir antar "triangle" pemain, dari lini ke lini yang mengalir cepat, berujung indah pada penyelesaian akurat "El Loco" Gonzalez yang sepertinya bisa membuat gol dalam keadaan apapun. "Set piece" yang terukur dari Eka Ramdani menjadi hiburan penuh ketegangan, seketika wasit meniup peluit tanda eksekusi tendangan bebas. Atau tusukan Atep ke jantung pertahanan lawan setelah menyusuri sisi lapangan dan memperdayai pemain bertahan lawan, ditutup dengan tembakan langsung ke gawang atau umpan matang santapan para striker.
Mereka yang bukan bobotoh saja begitu merindukannya, apalagi kita sebagai bobotoh?
Dulur sabobotoh, merujuk pada jargon: kalah menang soal biasa dalam pertandingan. Namun dalam jargon itu terkandung sebuah makna sangat mendalam. Kekalahan atau kemenangan sebetulnya menjadi biasa ketika kualitas permainan, determinasi setiap pemain dan berimbangnya kekuatan dua tim telah mencapai level tertinggi. Dengan begitu, kalah dan menang bukan akibat atau hasil permainan, tetapi lebih pada takdir Yang Maha Kuasa. Tengoklah final Piala Dunia 2010, antara Belanda vs Spanyol. Sekalipun Spanyol keluar sebagai pemenang, toh semua orang tahu tim Belanda pun menunjukkan permainan luar biasa, yang memiliki kualitas dan determinasi yang sama dengan sang juara. Begitu juga ketika Timnas Indonesia gagal meraih gelar juara di Piala AFF 2010. Hal yang sama pun terasa oleh kita semua, ketika PERSIB dikalahkan oleh PSM di kandang kita sendiri, di awal konpetisi.
Baik pendukung Belanda yang dikenal sangar, penonton Stadion Utama Gelora Bung Karno yang terkenal angker dan Bobotoh yang sangat ekspresif, semua menerima kekalahan dengan dewasa dan tanpa amarah, walau tentu ada kekecewaan. Mengapa? Karena permainan tim andalannya memenuhi syarat kualitas permainan tinggi, syarat determinasi pemain tinggi dan kedua tim menunjukkan permainan yang berimbang. Maka, sekarang wajar apabila semua gusar dan berteriak tidak sabar. Karena sebetulnya kita semua tidak mendapatkan apa yang kita rindukan dari PERSIB: Permaian sepakbola cantik yang efektif!
Dulur sabobotoh, kejadian kerusuhan menyusul hasil draw 1-1 dengan Arema, sebetulnya ekspresi kemarahan karena tidak bisa melampiaskan rindu menonton permainan bola yang cantik. Teriak amarah pun memuncak ketika wasit gagal memimpin dengan tegas, hasil draw jadi hasil terbaik. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Sebagai bobotoh tentu saja hanya satu yang bisa kita lakukan: menjadi bobotoh yang bertanggung jawab. Artinya menjadi seorang pecinta Persib yang menyadari bahwa segala ucapan dan tidakannya dituntut untuk selaras. Tentu saja semua itu juga disertai dengan tanggung jawab. Jadi ketika ada tudingan bahwa bobotoh bikin rusuh, merusak dan diprovokaasi oleh sorang provokator, maka kita akan mengaca pada diri sendiri dulu sebelum melemparkan tuduhan pada pihak lain. Kita menjadi seorang bobotoh yang tahu bahwa mencintai bukanlah merusak, membakar, saling tuding lalu bentrok dengan saudara sendiri. ***
Bersatulah semua untuk PERSIB tercinta.
Wassalam,
Farhan
Penulis adalah pengamat sepakbola nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar