
SEANDAINYA saya seorang kaya raya dan memiliki uang trilyunan rupiah, Persib Bandung akan saya beli. Kemudian saya akan menyulam mimpi indah, membawa Maung Bandung ke tangga juara kompetisi Liga Super Indonesia (LSI) dan berlanjut memuncaki Champions Asia.
Tidak itu saja, saya juga, menghendaki semua pemain Persib bisa terpanggil ke tim nasional Indonesia dan tim nasional negeri lain tempat pemain asing saya berasal. Sebagai pemilik, saya menghendaki prestasi sepakbola yang paripurna. Hebat di ajang kompetisi dan pemainnya terkenal di timnas negaranya masing-masing.
Kenapa saya harus bermimpi seperti itu?
Karena sepakbola adalah sebuah keyakinan yang teguh. Saya coba membayangkan bagaimana suasana jiwa tetangga saya, Ceu Imas saat nonton Persib di TV. Suasana hatinya pasti meraja senang saat Maung Bandung bisa memenangkan pertandingan. Tapi, sebaliknya, jika Persib kalah, Ceu Imas menyemburkan sumpah serapah dan caci maki. Bila perlu melemparkan dan membantingkan asbak ke layar tv.
Caci maki dan sumpah serapah dalam sepakbola menjadi bagian yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Menjadi keseharian dan warna yang menonjol disetiap gelaran sepakbola dipentas nasional. Mulai dari yel-yel dan pekik wasit goblog hingga pelatih gelo, meluncur bak air terjun.
Selain itu, sepakbola benar-benar menjadi raja diraja budaya manusia terkini. Orkestra sepakbola mampu menyihir manusia menjadi lupa akan segala-galanya. Pemainnya akan terus berusaha menyodorkan kemenangan dan permainan indah, demi memuaskan penontinnya dan menghindari kekecewaan yang mendalam dari para pemujanya.
Ya, drama sepakbola memang sungguh memabukkan.
Kita masih ingat ketika Iran mengalahkan Australia pada piala Asia 2007. Kegembiraan yang dirayakan di jalan raya itu, harus dibayar mahal dengan tewasnya seorang warga Iran. Kendati begitu pesta sepakbola tidak langsung berhenti. Terus berlanjut hingga mereka mengakhirinya sendiri.
Tapi percayalah, sepakbola juga menjadi wadah yang paling pas untuk merekatkan perdamaianan dunia. Inggris dan Argentina yang terlibat perang Malvinas, mampu berangkulan saat kedua tim bertemu di lapangan hijau uantuk menghibur masyarakat sepakbola dunia.
Dalam mimpi saya, peristiwa itu itu juga, saya dambakan menjalar ke medium kompetisi LSI. Agar suatu hari kelak, Bobotoh Persib, The Jakmania, Bonek dan Aremania, atau pendukung lainnya yang memiliki permusuhan, bisa saling berangkulan ketika salah satu tim kebanggaannya mengalami kekalahan.
Ya, Sepakbola benar-benar olahraga mati dan hidup orang-orang diluar lapangan. Bahkan, kini, sepak bola sudah menjadi mesin-mesin kebudayaan massa dan menjadi bagian dari budaya pop global dan ladang perdamaian. Sepak bola juga telah melahirkan sentimen SARA dan permusuhan abadi.
Dan saya masih terus memelihara mimpi, agar ada perdamaian sepanjang hari, perdamaian sepanjang pertandingan, sepanjang masa – sepanjang mimpi saya belum selesai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar